Arti dan Makna Malam Satu Suro bagi Masyarakat Jawa, Harus Waspada dan Ingat dengan Hal Ini

30 Juni 2024, 09:45 WIB
Mengenal malam 1 Suro, malam yang kental dengan nuansa mistis /ilustrasi malam mistis/dok. Pixabay/

PORTAL PATI - Arti dan Makna Malam Satu Suro bagi Masyarakat Jawa, Harus Waspada dan Ingat dengan Hal Ini.

Saat malam satu Suro tiba, masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan, lek-lekan (tidak tidur semalam suntuk), dan tuguran (perenungan diri sambil berdoa).

Bahkan sebagian orang memilih menyepi untuk bersemedi di tempat sakral seperti puncak gunung, tepi laut, pohon besar, atau di makam keramat, seperti dikutip dari laman Petabudaya Belajar Kemdikbud.

Baca Juga: Mudah, Cepat dan Praktis! Ini 5 Daftar Menu Sarapan untuk Anak Kost dengan Kantong Pas

Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci, bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa.

Cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk berintrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu.

Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada.
Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan.

Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan. Karenanya dapat dipahami jika kemudian masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan Suro.

Baca Juga: Bacaan Doa dan Cara Mengamalkan Doa Nabi Yunus untuk Hajat Pelunas Hutang 

Peringatan satu Suro selalu berjalan dengan khusuk, orang membersihkan diri lahir batin, melakukan introspeksi, mengucap syukur kepada Tuhan yang membuat hidup dan menghidupi dunia dan seisinya.

Lelaku malam satu Suro, tepat pada pukul 24.00 saat pergantian tahun Jawa, diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa.

Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam satu Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat.

Baca Juga: Mitos atau Fakta? Mengungkap Dibalik Misteri Diet Keto untuk Kesehatan Jangka Panjang 

Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.

Sementara itu di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati malam satu Suro dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya.

Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah tapa mbisu mubeng beteng.***

Editor: Abdul Rosyid

Tags

Terkini

Terpopuler