Mitos Anak Terakhir Menikah dengan Anak Terakhir, Benarkah Tak Bisa Langgeng?

21 Maret 2024, 22:25 WIB
ilustrasi pernikahan /pexels.com @emma bauso/

Portal Pati - Kehidupan yang kian modern tidak membuat masyarakat Indonesia lantas lepas dari mitos.

Salah satunya yang populer adalah mitos anak terakhir menikah dengan anak terakhir menurut adat Jawa.

Konon, menikah berdasarkan urutan kelahiran berdampak terhadap pernikahan kelak.

Dalam artikel kali ini, kami akan menggali mitos anak terakhir menikah dengan anak terakhir dari keluarga yang berbeda serta implikasinya bagi kedua keluarga. Simak yuk ulasannya!

Mitos Anak Terakhir Menikah dengan Anak Terakhir Menurut Adat Jawa

Bicara mengenai adat Jawa, Jawa memang kental dengan berbagai hal yang masih dilestarikan hingga hari ini. Mulai dari adat menyatunya insan manusia alias menikah hingga mitos di dalamnya.

Ketika menikah, seseorang kelak akan bertanggung jawab membina rumah tangga. Konon, anak bungsu yang menikah dengan sesama bungsu tidak akan bisa mandiri.

Ini konon berkaitan dengan sifat anak bungsu yang masih manja dan kerap belum bisa mengambil keputusan sendiri. Sehingga, bugsu membutuhkan bimbingan dari sosok yang lebih kuat. Dalam budaya Jawa, ini disebut Mitos Anak Terakhir.

Kendati mitos, banyak masyarakat yang meyakini mitos ini benar adanya. Hal ini bukan tanpa alasan, mitos ini sudah turun temurun. Terlebh, anak bungsu sudah biasa diarahkan oleh keluarga sejak kecil. Tradisi di Indonesia juga biasanya berharap si bungsu akan tinggal di rumah dan membantu orangtua di hari tua.

Mitos yang telah mengakar ini berhubungan juga dengan rasa hormat dan tanggung jawab terhadap orang tua. Mitos ini telah digunakan sebagai bentuk kontrol sosial mendorong anak muda untuk tinggal bersama orang tua dan tidak meninggalkan rumah untuk mengejar kehidupan mereka sendiri. Mitos ini telah dilestarikan bahkan di zaman modern, meskipun relevansinya sudah mulai berkurang.

Alasan Pernikahan Anak Bungsu Tidak Dianjurkan Adat

Alasan mengapa perkawinan ini tidak dapat hidup mandiri adalah karena kepercayaan tradisional Jawa akan pentingnya keluarga dan masyarakat.

Dalam budaya Jawa, diyakini bahwa menikah dengan keluarga yang berbeda, tidak hanya dua anak muda dapat menjadi bagian dari keluarga yang sama, tetapi juga akan membawa kedua keluarga lebih dekat.

Ikatan yang erat ini dipandang sebagai kunci untuk mempertahankan pernikahan yang panjang dan sehat. Selain itu, dengan tinggal bersama dalam satu rumah, kedua keluarga dapat terus memberikan bantuan dan dukungan satu sama lain. Dengan demikian, hidup mandiri tidak dilihat sebagai pilihan yang layak dalam situasi ini.

Menurut Kevin Leman dalam bukunya berjudul “The New Birth Order Book: Why You are the Way You are” seperti merujuk laman businessinsider.com, anak bungsu cenderung suka melempar tanggung jawab.

Ketika anak terakhir menikah dengan anak terakhir, besar kemungkinan mereka akan saling menyalahkan atas segala sesuatu yang terjadi dalam rumah tangga. Hubungan pun akan diwarnai berbagai konflik bila pasangan anak bungsu tidak bisa mengontrol perilaku tersebut dengan baik.

Masalah keuangan juga menjadi sorotan ketika anak terakhir menikah dengan anak terakhir. Hal-hal yang berkaitan dengan uang bisa memicu konflik yang cukup berat dalam hubungan mereka.

Contohnya jika pengeluaran membengkak, suami akan menyalahkan istri yang tidak dapat mengatur keuangan. Di sisi lain, istri juga akan melempar tanggung jawab dan menyalahkan suami yang tidak mampu memberikan uang dalam jumlah banyak.

Pengaruh Mitos Terhadap Masa Depan Anak

Mitos ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap masa depan anak-anak dalam budaya Jawa. Banyak orang tua percaya bahwa menunda pernikahan dengan anak bungsu dalam keluarga mereka akan membantu anak mereka dalam jangka panjang.

Mereka percaya bahwa dengan menunggu sampai anak mereka lebih besar, mereka akan memiliki lebih banyak waktu untuk mengembangkan keterampilan mereka, mendapatkan lebih banyak pengalaman, dan membuat lebih banyak keputusan. Mitos ini juga mengakibatkan orang tua menjadi lebih konservatif dalam hal pendidikan dan jalur karier anak-anak mereka.

Orang tua menjadi lebih memahami dan mendukung pilihan anaknya, menyadari bahwa mitos anak terakhir menikah dengan anak terakhir dari keluarga berbeda mungkin bukan pilihan terbaik untuk masa depan anaknya.

Di tengah masyarakat, mitos satu ini dinilai akan menghasilkan ikatan yang kuat antara kedua keluarga, karena anak-anak mereka telah bersatu. Ikatan ini dipandang sebagai perpanjangan dari keluarga dan dilihat dalam beberapa kasus sebagai suatu kehormatan.

Selain itu, kedua keluarga akan terhubung melalui persatuan ini, rumah tangga mereka menjadi satu, dan status sosial mereka akan meningkat. Serikat pekerja juga memastikan bahwa kedua keluarga dapat berinteraksi dan bekerja sama satu sama lain, sehingga memperkuat hubungan mereka dan membangun jaringan sosial yang kuat.

Namun, zaman telah berubah dan tradisi ini tidak sekental kedengarannya. Misalnya, pasangan dapat dibiarkan hidup mandiri, meskipun mereka berasal dari keluarga yang sama. Selain itu, orang tua dapat memastikan anak-anak mereka siap secara finansial dan emosional sebelum menikah.

Tak hanya itu saja, pasangan dapat menikah sesuai dengan keinginan mereka sendiri, terlepas dari keluarga mana mereka berasal. Dengan demikian, masyarakat dapat menikmati kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya sendiri tanpa merasa terkekang oleh norma-norma budaya yang sudah kuno.

Mantap Menikah dengan Anak Bungsu, Apa yang Harus Dipertimbangkan?

Saat mempertimbangkan apakah akan memasuki situasi seperti ini atau tidak, ada beberapa hal yang perlu diingat. Pertama dan terpenting, Anda harus yakin bahwa keluarga yang terlibat merasa nyaman dengan pengaturan tersebut. Penting bagi setiap orang yang terlibat untuk menyadari implikasi dari pengaturan tersebut dan bersedia bekerja sama untuk memastikan rumah tangga berjalan bahagia.

Kedua keluarga harus menyadari potensi kewajiban keuangan yang mungkin timbul dan bersiap untuk menanganinya. Hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan termasuk implikasi budaya, agama, dan hukum dari pernikahan semacam itu. Penting untuk memahami dan memastikan bahwa setiap orang yang terlibat merasa nyaman.

Terakhir, Anda harus mempertimbangkan tingkat komitmen yang dibutuhkan dan pastikan bahwa kedua keluarga bersedia melakukan pengorbanan yang diperlukan agar berhasil.

Dalam hal ini, Leman menyarankan agar pasangan bisa menjadi pendengar yang baik bagi satu sama lain. Jangan sampai saling memanipulasi satu sama lain. Hindari sikap defensif, dan berusaha untuk saling menerima satu sama lain.

Memiliki dan menjaga selera humor diperlukan untuk membuat hubungan tetap terasa nyaman. Jika sudah berjodoh dan merasa cocok satu sama lain, sebuah hubungan selalu memiliki solusi yang bisa diusahakan oleh keduanya demi mendapatkan rumah tangga yang harmonis.

Ya, mitos ini memang masih sangat hidup. Banyak masyarakat Jawa yang masih menganut kepercayaan ini, dan beberapa keluarga masih mempraktikkannya. Bahkan, dalam beberapa kasus, anak bungsu diharuskan menikah dengan anak bungsu dari keluarga yang berbeda.

Praktik ini dipandang sebagai cara untuk menjaga kekuatan keluarga dan memastikan tidak ada yang tertinggal dari keluarga. Itu juga dianggap membawa keberuntungan bagi keluarga dan memastikan bahwa anak bungsu memiliki masa depan yang baik.

Terlepas dari kesulitan yang menyertai adat ini, itu adalah bukti ketangguhan, kesetiaan, dan dedikasi masyarakat Jawa terhadap budaya mereka. ***

Editor: Abdul Rosyid

Tags

Terkini

Terpopuler