Mitos Perempuan Bahu Laweyan, Sosok yang Membawa Kematian dan Petaka

29 Juni 2024, 13:50 WIB
Ilustrasi perempuan bahu lawean. /Rijksmuseum

Portal Pati - Mitos Sosok Bahu Laweyan, Perempuan yang Membawa Kematian dan Petaka.

Bahu laweyan adalah mitos yang tersebar di masyarakat Jawa. Masyarakat percaya, perempuan dengan ciri bahu laweyan akan menjadi petaka.

Hingga saat ini, belum dapat dipastikan mengenai kebenaran akan mitos tersebut.

Akan tetapi, kisah mengenai bahu laweyan ini telah tertulis di salah satu naskah kuno yang berada di Museum Radya Pustaka Surakarta, Solo.

Bagaimanakah kisah mengenai perempuan laweyan yang dipercayai sebagai perempuan pembawa kematian?

Kisah Perempuan Laweyan

Perempuan dengan bahu laweyan memiliki tanda air sebesar koin di bahu kirinya.

Tanda lahir tersebut diyakini diisi oleh mahluk tak kasat mata berjenis hewan melata yang kemudian akan mengelilingi tangannya.

Keberadaan makhluk halus tersebut yang membuat seorang perempuan dengan bahu laweyan dipercaya bisa membawa petaka.

Jika mereka menikah, suaminya kelak akan meninggal dunia.

Akan tetapi, legenda mengenai perempuan bahu laweyan ini tidak terlepas dari kisah Pakubuwono II, yang merupakan Raja Keraton Hadiningrat.

Dikisahkan pada tahun 1800-an, Pakubuwono II, meminta seorang saudagar perempuan yang juga merupakan seorang perajin batik dari Laweyan untuk meminjamkannya kuda guna berperang.

Kemudian, raja mengajak saudagar perempuan tersebut untuk tinggal di kawasan kerajaan.

Akan tetapi saudagar perempuan itu menolak permintaan raja. Hal ini menyebabkan raja murka.

Kemarahan raja pada perempuan saudagar itu berdampak juga pada seluruh perempuan di kawasan laweyan.

Pada saat itu, raja berkata bahwa seluruh perempuan di laweyan akan merasakan siksaan lahir dan batin.

Jika perempuan di Laweyan menikah, pernikahan mereka tidak akan bertahan lama karena suami-suami mereka akan meninggal dunia.

Konon katanya, untuk memutuskan kutukan tersebut pada perempuan bahu laweyan harus menikah hingga 7 kali.

Dalam cerita lainnya disebutkan bahwa pada perempuan dengan bahu laweyan dibelenggu oleh genderuwo.

Sebagaimana dijelaskan di Serat Witaradya bahwa terdapat genderuwo yang membelenggu Dewi Citrasari.

Ayah dari Dewi Citrasari merasa bersedih dengan kondisi anaknya, dikarenakan sang anak merasakan sakit yang sangat dahsyat sehingga membuatnya tidak dapat berbicara.

Kemudian, dia meminta nasehat kepada raja-raja lainnya.

Sri Aji Pamasa yang bernama Gandarwaraja memberikan solusi, bahwasanya sang putri harus diberikan batu mulia Trikaya yang dikulum oleh seseorang yang berlidah warna merah agak kehitaman serta ujung yang putih.

Tiba-tiba raja Nusarukmi berkata bahwa anaknya si Kaskaya adalah orang yang tepat, karena ia memiliki kriteria tersebut.

Tak berselang lama, Raden Kaskaya mengulum permata Trikaya lalu menyemburkannya ke Dewi Citrasari.

Singkat cerita, Dewi Citrasari sembuh dan dapat berbicara seperti sedia kala. Akan tetapi, genderuwo yang ada pada tubuh Dewi Citrasari tidak rela harus lepas dari sang Dewi.

Beberapa hari kemudian, Dewi Citrasari menikah dengan Raden Kaskaya. Pada suatu hari, Sri Aji Pamasa bersemadi dan mendapatkan petunjuk bahwasanya terdapat wanita atau perempuan berjumlah 68 yang mempunyai nasib yang sama seperti putrinya.
Kebanyakan dari mereka masih anak-anak, ada juga yang sudah dewasa namun jumlahnya dapat dihitung jari.

Mereka juga golongan sukerta yaitu seseorang yang bernasib buruk.
Akhirnya Sri Aji Pamasa memanggil para patihnya untuk menemukan 68 perempuan tersebut dan meminta untuk meruwat agar tidak berlarut dan terhindar dari malapetaka.

Akan tetapi hingga kini belum ada fakta ilmiah yang membenarkan mitos ini.

***

Editor: Abdul Rosyid

Tags

Terkini

Terpopuler