Bagaimana Jika Menikah Arah Ngalor Ngulon? Kepentok Ngalor-Ngulon, Batal Nikah Gara-gara Pantangan Arah Rumah

- 27 Februari 2024, 11:53 WIB
Weton Ketemu 25 Dilarang Menikah, Bakal Pegatan, Bagaimana Cara Menangkalnya?/(Pixabay.com/ @0fjd125gk87)
Weton Ketemu 25 Dilarang Menikah, Bakal Pegatan, Bagaimana Cara Menangkalnya?/(Pixabay.com/ @0fjd125gk87) /

Portal Pati - Batal nikah karena weton tidak cocok memanglah legend, tapi pernahkah Anda membayangkan batal nikah karena jarak rumah Anda dan pujaan hati membentuk arah tertentu?.

Setelah cinta kandas gara-gara weton yang sempat booming di kalangan warganet, ada satu lagi faktor penyebab galaunya percintaan muda-mudi suku Jawa, terutama mereka yang tinggal di pedesaan, yakni cinta yang tidak direstui lantaran posisi rumah kedua sejoli ngalor-ngulon. Ngalor-ngulon sendiri berarti arah mata angin di antara utara dan barat.

Baca Juga: Megengan atau Ruwahan, Tradisi Menyambut Ramadhan oleh Masyarakat Jawa

Artinya, ngalor-ngulon merupakan arah jika salah satu mempelai menarik garis lurus ke arah rumah pasangannya, maka akan menunjuk ke arah barat laut atau tenggara.

Pernikahan ngalor-ngulon dipercaya akan mendatangkan kesialan dan musibah bagi pengantin maupun bagi keluarganya.

Contoh kesialan dan musibah yang akan menimpa pasangan ngalor-ngulon, konon orang tua, mempelai, atau anak-anaknya akan sakit-sakitan bahkan meninggal. 

Selain itu, masyarakat percaya bahwa pasangan ngalor-ngulon akan kesulitan secara finansial, bahkan akan mengalami perceraian, entah cerai hidup atau cerai mati.

Pantangan ini pun tumbuh menjadi suatu tabu atau pamali yang dipercayai kebenarannya.

Baca Juga: Bulan Puasa Ramadhan 2024 Mulai Tanggal Berapa? Cek Jadwalnya Disini dan Cara Menyambut Ramadhan

Seperti pamali-pamali pada umumnya, tidak begitu jelas siapa yang pertama kali mencetuskan pantangan ini.

Pantangan menikah ngalor-ngulon dituturkan antargenerasi dengan tujuan untuk menjaga kelanggengan pernikahan dan kebahagiaan anak cucu mereka.

Meskipun tidak diketahui secara pasti sejak kapan pantangan ini diterapkan, dan siapa yang pertama kali mencetuskannya, ada beberapa versi mengenai asal-usul pantangan pernikahan ngalor-ngulon yang menarik untuk kita ketahui:

1. Wujud dendam masyarakat Majapahit kepada Mataram Islam

Cerita ini diwariskan oleh masyarakat yang tinggal di daerah Jawa Timur, tepatnya mereka yang tinggal di wilayah-wilayah bekas pusat pemerintahan Majapahit.

Pada masa pemerintahan Panembahan Senopati, ada seorang tokoh keturunan Majapahit yang amat sakti dan terkenal, yang bernama Ki Ageng Mangir Wanabaya.

Ki Ageng Mangir merupakan keturunan Prabu Brawijaya V dan penguasa daerah Mangir (sekarang merupakan Kabupaten Bantul, Yogyakarta).

Alkisah, Ki Ageng Mangir yang merupakan penguasa daerah Mangir merasa tidak perlu tunduk pada perintah Mataram, karena Mangir sendiri merupakan daerah perdikan (desa yang tidak berkewajiban membayar upeti maupun pajak kepada Mataram). 

Diam-diam Panembahan Senopati merasa khawatir jika Ki Ageng Mangir akan mengancam posisinya atau bahkan menimbulkan kehancuran bagi Mataram Islam.

Akhirnya Panembahan Senopati berniat untuk menyingkirkan Ki Ageng Mangir dengan tipu daya melalui putrinya yang amat cantik, Sekar Pembayun. 

Panembahan Senopati memerintahkan putrinya untuk menyamar sebagai penari ledhek (ronggeng) dengan harapan Ki Ageng Mangir (yang konon sangat menyukai pertunjukan ledhek) terpikat akan kecantikannya.

Sekar Pembayun yang menyamar sebagai penari ledhek (ronggeng) berhasil memikat Ki Ageng Mangir. Singkat cerita, keduanya pun menikah. Beberapa lama kemudian, Sekar Pembayun mengaku bahwa ia merupakan putri Panembahan Senopati, musuh Ki Ageng Mangir. Saat itu, Panembahan Senopati meminta Ki Ageng Mangir untuk sowan (menghadap) selaku menantu yang baik.

Karena amat mencintai istrinya, Ki Ageng Mangir pun sowan ke keraton Mataram. Namun siapa sangka, ternyata Ki Ageng Mangir tewas di tangan Panembahan Senopati ketika sungkem lantaran Panembahan Senopati membenturkan kepalanya di Watu Gilang (Singgasana Panembahan Senopati).

Akibatnya, masyarakat yang tinggal di wilayah bekas pusat pemerintahan Majapahit melarang anak-cucunya untuk menikah dengan pasangan yang rumahnya berada di arah barat laut atau tenggara agar tidak mendapat kenistaan seperti halnya Ki Ageng Mangir.

2. Arah Kematian Para Utusan Ajisaka

Kisah ini merupakan bagian dari kisah asal usul aksara jawa. Dalam jurnal berjudul "Mitos Pernikahan Pernikahan Barat Laut di Desa Tunggurejo Kecamatan Batas Kabupaten Blitar (Studi Fenomenologi)" yang ditulis oleh Kurniawan.

Olehnya dijelaskan bahwa awal mula larangan menikah bagi rumah pasangan yang berarah barat laut dan tenggara di Desa Tunggurejo adalah kisah Aji Saka yang utusannya meninggal dunia dengan posisi ke arah barat laut dan tenggara.

Alkisah, Aji Saka dan pengikutnya, yang bernama Dura, berhasil mengalahkan seorang raja yang amat keji bernama Prabu Dewata Cengkar. 

Berkat kemenangannya, Aji Saka berhasil menjadi seorang raja. Aji Saka kemudian meminta Dura untuk mengambil keris yang dititipkan pada seorang pengikutnya yang bernama Sembada.

Padahal, sebelum pergi berperang, Aji Saka memerintahkan Sembada untuk tidak memberikan keris tersebut kepada selain Aji Saka. 

Ketika Dura datang untuk menjalankan perintah Aji Saka, terjadi cekcok berujung perkelahian yang menyebabkan keduanya tewas. Mayat keduanya menghadap ke dua arah, yang satu menghadap ke arah barat laut (ngalor-ngulon), sedangkan yang satunya lagi menghadap tenggara (ngidul-ngetan).

Oleh karena itu berkembanglah kepercayaan barangsiapa menikah dengan seseorang yang arah rumahnya ngalor-ngulon atau ngidul-ngetan, maka salah satunya atau keluarganya akan binasa.

3. Kisah Damarwulan-Minakjingga

Dalam jurnal berjudul "Mitos Tentang Larangan Menikah Ngalor-Ngulon di Kecamatan Prambon Kabupaten Nganjuk (Kajian Folklor)" yang ditulis oleh Nila Marita Sofiana, dijelaskan bahwa salah satu kepercayaan yang mendasari larangan pernikahan ini terkait dengan kisah Damarwulan-Minakjingga.

Dalam kisah tersebut, Minakjingga yang waktu itu menjadi adipati di Blambangan terbunuh oleh Damarwulan yang merupakan utusan Ratu Kencana Wungu dari Majapahit.

Karena pemimpinnya terbunuh oleh utusan Majapahit, rakyat Blambangan (sekarang Banyuwangi) secara turun-temurun melarang anak cucunya untuk menikah dengan dengan seseorang yang arah rumahnya di antara utara dan barat (barat laut), karena apabila dilihat dari arah Banyuwangi, pusat kerajaan Majapahit berada di arah barat laut.

4. Ngalor-ngulon merupakan arahnya orang yang sudah meninggal

Dalam islam, orang yang sudah meninggal dikuburkan dengan posisi ngalor-ngulon. Posisi jenazah ketika di liang kubur wajib dimiringkan ke sebelah kanan, atau menghadap ke kiblat.

Karena arah kiblat di Indonesia cenderung ke barat, maka posisi kepala selalu berada di utara. Oleh karena itu, masyarakat memaknai ngalor-ngulon sebagai arah kematian.

Selain itu, konon arah ngalor-ngulon merupakan jalur jalannya jin, setan, iblis, dan segala malapetaka. Sehingga, masyarakat khawatir apabila dua orang dengan arah rumah ngalor-ngulon menikah, pernikahannya akan penuh malapetaka bahkan menimbulkan kematian.

Demikian beberapa asal- usul pantangan pernikahan ngalor-ngulon yang dipercaya oleh masyarakat. Terlepas valid atau tidaknya akibat yang ditimbulkan oleh pantangan ini, belum terbukti secara ilmiah. 

Barangkali ada beberapa ketidak beruntungan pasangan yang kebetulan merupakan pasangan ngalor-ngulon sehingga masyarakat semakin mempercayai pantangan ini. Padahal, kematian dan musibah mutlak merupakan kehendak Tuhan.

Hingga kini, beberapa orang tua di Jawa, khususnya daerah pedesaan, masih memegang teguh pantangan ini. Jadi, bagi anak-anaknya, sebesar dan setulus apapun cinta yang mereka punya, apabila weton dan arah rumahnya tidak cocok, siap-siap saja tidak akan direstui untuk menuju ke pelaminan.

Uniknya, di kalangan masyarakat yang masih memegang pantangan ini, terdapat siasat untuk menghindarinya. Salah satunya adalah trik pindah rumah untuk sementara waktu. 

Salah satu calon mempelai bisa pindah ke rumah saudaranya dan melangsungkan acara pernikahan disana sehingga hitungan arah rumahnya tidak lagi ngalor-ngulon.

Pantangan ini mungkin dianggap kuno dan tidak relevan lagi. Namun bagaimanapun, pantangan ini menjadi suatu tradisi yang harus dihormati dan dilestarikan. 

Terlepas dari percaya atau tidak, kita bebas untuk memilih dan mengambil keputusan. Namun apabila sudah kepentok pantangan ini, padahal terlanjur cinta mati, barangkali pantangan ini memang harus disiasati. Ingat, pantangan mungkin tak bisa dilanggar, namun demi restu orang tua, siasat adalah solusinya!.

 

***

 

Editor: Abdul Rosyid


Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah