Sejarah Lengkap Isra Mi'raj: Hari-hari Penuh Duka Muhammad SAW hingga Negosiasi Sholat 5 Waktu

7 Februari 2024, 16:54 WIB
Background untuk Isra Mi'ra /

Portal Pati - Sejarah Isra Mi'raj: Hari-hari Penuh Duka Muhammad SAW hingga Negosiasi Sholat 5 Waktu.

Sejarah Isra Mi'raj merupakan peristiwa penting yang perlu diketahui oleh umat Islam. Isra dan Mi'raj adalah sebuah perjalanan spiritual yang luar biasa bagi Nabi Muhammad SAW.

Sebelum mengulik kisah sejarah peristiwa Isra Mi'raj, terlebih dulu perlu diketahui pengertian Isra dan Mi'raj.

Baca Juga: Mengapa Rajab Disebut Bulan Istimewa? Berikut 12 Alasan Mengapa Rajab Disebut Bulan Mulia

Mengutip jurnal STAI Bumi Silampari Lubuklinggau berjudul Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Iman dalam Peristiwa Isro' Mi'raj Nabi Muhammad SAW", Isra menurut istilah ialah perjalanan Nabi Muhammad SAW, di waktu malam dari Masjid al-Haram Mekah ke Masjid al-Aqsha di Palestina, bertepatan malam 27 Rajab satu tahun sebelum hijrahnya Nabi.

Sementara Mi'raj menurut istilah adalah naiknya Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Aqsha ke langit sampai ke Sidrat al-Muntaha, terus sampai ke tempat yang paling tinggi untuk menghadap kepada Allah. Mi'raj adalah kelanjutan dari Isra'.

Baca Juga: Gus Iqdam Sebut 9 Februari 2024 Hari Penting, Catat! Ada Amalan Istimewa di Jumat Terakhir Bulan Rajab 1445H

Nah, berikut rangkaian sejarah Isra Mi'raj.

Peristiwa Jelang Isra Mi'raj

1. Hari-hari Penuh Duka Jelang Isra Mi'raj

Melansir NU Online, disebutkan bahwa ada dua peristiwa penting yang melatarbelakangi terjadinya Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Dua peristiwa tersebut diliputi dengan duka dan sangat berat dirasakan oleh Nabi Muhammad.

Hal ini lantas disebut oleh para ahli sejarah dengan istilah "Aam al-Huzni" atau tahun kesedihan.

Peristiwa pertama adalah wafatnya Abu Thalib. Sosok paman yang dicintai Nabi Muhammad SAW.

Abu Thalib adalah sosok paman yang memelihara Nabi Muhammad selama bertahun-tahun. Sejak Nabi Muhammad berusia delapan tahun sampai diantar ke gerbang kebahagiaan ketika ia menikah dengan Khadijah dalam usia 25 tahun.

Abu Thalib pun sangat mencintai Nabi, ia senantiasa melindungi dari berbagai tantangan dan rongrongan yang datang dari kaum musyrik Quraisy. Ia yang menjadi pelindung dan perisai bagi Nabi dari segala tindakan musuh. Ia juga pemimpin Quraisy yang amat berwibawa dan disegani berbagai kalangan.

Kesedihan itu semakin mendalam karena di akhir hayat Abu Thalib ternyata tidak sempat mengucapkan "Laa ilaha illallaah..." walaupun Nabi senantiasa mencoba menuntun pamannya untuk mengucapkan lafadz tersebut.

Peristiwa kedua adalah wafatnya Sayyidah Khadijah, istri yang sangat dicintai Nabi Muhammad SAW begitupun sebaliknya. Khadijah merupakan istri yang senantiasa mendampingi Nabi Muhammad SAW dalam segala suka dan duka selama bertahun-tahun.

Peranan Khadijah begitu besar dalam perjuangan Nabi Muhammad. Ia senantiasa menghibur Nabi dari segala kesedihannya. Ia juga selalu berusaha membela Nabi dari segala rintangan dan tantangan.

Kedudukan Khadijah tidak bisa digeser siapapun. Nabi Muhammad SAW mengatakan: "Allah tidak menggantikan untukku seorang yang lebih baik dari Khadijah, ia seorang yang pertama kali beriman kepadaku, pada saat orang lain mendustakan aku. Ia yang senantiasa mencintaiku tatkala banyak orang membenciku. Ia korbankan harta kekayaannya dalam rangka membela agama".

Setelah kehilangan dua orang yang dicintainya itu, Nabi Muhammad semakin menjumpai berbagai kesulitan. Tekanan orang-orang Quraisy dirasakan semakin keras. Nabi terus menerus menghadapi permusuhan dan penghinaan dari kaumnya hingga pernah dilempari dengan tanah yang kotor dan mengenai seluruh kepalanya.

2. Penolakan di Thaif

Karena tekanan dan penghinaan orang-orang Quraisy kian gencar, Nabi Muhammad melakukan perjalanan ke Thaif. Nabi menaruh harapan semoga kaum Tsaqif yang menduduki wilayah Thaif yang amat subur dengan udara sejuk itu mau menerima agama Allah SWT.

Namun, harapan tersebut sirna. Penduduk Thaif ternyata amat bengis, mereka menolak kedatangan Nabi Muhammad, dakwahnya ditolak dengan kasar.

Orang-orang Thaif pun mengusir Nabi dengan kasar, bahkan dilempari dengan batu. Nabi segera menghindari mereka, berlindung di bawah pohon anggur milik Uthbah dan Syaibah.

Kaki beliau mengucurkan darah sehingga melengket di sandalnya karena darah yang mengering. Menghadapi penghinaan yang teramat keras, Nabi tidak mengutuk mereka, bahkan beliau menyampaikan do'a: "Wahai Tuhanku, tunjukilah kaumku, karena sesungguhnya mereka belum mengetahui". Di tempat itu, beliau menengadah ke langit dan do'a yang artinya:

"Wahai Allah Tuhanku, kepada-Mu aku mengadukan kelemahan diriku, kekurangan daya upayaku dan kehinaanku dihadapan sesama manusia. Wahai Allah Yang Maha Kasih dari segala kasih, Engkau adalah pelindung orang-orang yang lemah dan teraniaya. Engkau adalah pelindungku. Tuhanku, kepada siapa Engkau serahkan diriku? Apakah kepada orang jauh yang membenciku atau kepada musuh yang menguasai diriku. Tetapi asal Kau tidak murka padaku, aku tidak peduli semua itu. Rahmat dan karunia-Mu lebih luas bagiku, aku berlindung dengan cahaya-Mu yang menerangi segala kegelapan, yang karenanya membawa kebahagiaan bagi dunia dan akhirat, daripada murka-Mu yang akan Kau timpakan kepadaku. Engkaulah yang berhak menegurku sehingga Engkau meridhaiku. tiada daya dan upaya kecuali dari-Mu". (Muhammad Husen Haikal, Hayatu Muhammad, hal 187).

Persiapan Memandang Allah

Sebelum perjalanan Isra Mi'raj, Allah terlebih dahulu menyiapkan sebuah peristiwa spiritual bagi Nabi Muhammad. Melansir Jurnal At-Tafkir berjudul "Historitas dan Rasionalitas Isra Mi'raj" dikisahkan pada suatu malam, Malaikat Jibril, Mikail, dan Israfil turun ke bumi, menghampiri Nabi Muhammad. Dengan secepat kilat, ketiga malaikat itu langsung membawa Nabi ke
sumur Zamzam di dekat Kak'bah dengan penuh kesantunan dan kelembutan.

Mereka memohon kepada Nabi agar berkenan menelentangkan tubuh demi mempermudah "ritual" pembelahan dada, yang akan dilakukan sebagai persiapan lahir-batin demi menjelajahi alam semesta yang tak pernah dialami oleh satupun makhluk di alam dunia (Al- Hasaniy, n.d., 133).

Tak lama Mikail langsung membawakan wadah terbuat dari emas berisi Air Zamzam yang diminta Jibril. Dengan penuh khidmah, Jibril membasuh hati dan dada Nabi menggunakan air zamzam dalam wadah emas tersebut.

"Segumpal darah hitam ini adalah bagian setan darimu, Ya Muhammad," terang Jibril kepada Nabi.

Setelah itu, Jibril mengeluarkan wadah yang penuh berisi iman dan hikmah. Ia menuangkan seluruh isi dalam wadah tersebut ke hati Nabi, sehingga ilmu hikmah, ilmu yakin, dan Islam telah mengkristal dengan hati mulia Nabi Muhammad (Ad-Dardir, n.d., p. 4).

Persiapan lahir-batin dirasa sudah cukup. Jibril lantas mendatangkan seekor binatang putih bertubuh lebih besar dari keledai dan lebih kecil dari bagal, dengan dua sayap di antara kedua kakinya. Kendaraan itu bernama Buroq. Dengan gelora semangat yang tinggi, Nabi segera menunggangi Buraq. Perjalanan menjelajahi semesta pun akan dimulai.

Menuju Masjid al-Aqsha

Sementara Buraq melesat menuju utara dan meninggalkan kota Mekkah. Dalam perjalanan ini, Jibril mengajak Nabi berziarah ke tempat-tempat bersejarah untuk sejenak "melupakan" keadaan Mekkah yang tak terkendalikan.

Ia mengajak Nabi singgah sebentar ke sebuah tempat asri yang subur dengan kebun-kebun kurma. Lalu, ia mempersilakan Nabi Muhammad SAW untuk melaksanakan salat dua rakaat di tempat itu.

"Tahukah di mana engkau tadi sedang salat?," tanya Jibril membuat Nabi penasaran ketika kembali menunggangi Buraq untuk melanjutkan perjalanan.
"Tidak," jawab Nabi singkat.
"Engkau tadi salat di negeri Taibah (negeri yang aman, damai, dan sejahtera), ke sanalah engkau bakal hijrah," ungkap Jibril.

Usai salat, Nabi kembali menunggangi Buraq. Begitu aba-aba telah diterimanya, secepat kilat ia melintasi sebuah gunung di semenanjung Mesir. Lantas Jibril kembali mempersilakan untuk salat di tempat itu. Seperti biasa, Jibril mengungkapkan nilai-nilai historis dari setiap tempat yang disinggahi Nabi.

Selama dalam perjalanan ini, selama berada di atas punggung Buraq dengan kecepatan tak terkira, Nabi menjumpai dan diperlihatkan aneka kejadian aneh dan mengerikan (Khariq al-'Adah).

Nabi menyaksikan secara gamblang orang-orang aneh dengan tingkah laku yang aneh pula. Mereka membentur-benturkan kepalanya ke sebongkah batu besar. Secara ajaib, setiap kali kepala mereka pecah sepecah-pecahnya, seketika itu juga kepala itu langsung utuh kembali seperti sediakala, dan mereka membentur-benturkannya lagi seolah tak pernah merasa jera.

"Siapa orang-orang itu, Jibril" tanya Nabi.

"Mereka adalah orang-orang yang kepalanya merasa berat mengerjakan salat fardhu," jawab Jibril mengabarkan gambaran azab yang akan ditanggung oleh orang-orang yang tidak mengerjakan kewajiban salat.

Perjalanan Mi'raj Melintasi Tujuh Langit

Jibril memeluk Rasulullah dan mencium bagian kening di antara kedua matanya sembari berucap, "Naiklah Muhammad! engkau adalah tamu yang mulia dan akan menghadap Tuhan Yang Maha Mulia."

Tanpa jeda yang lama Rasulullah dan Jibril melangkahkan kaki menaiki Mi'raj. Begitu kedua kakinya tepat menginjak tangga yang pertama, tangga itu membawa Rasulullah dan Jibril terbang menembus awan, bintang-bintang, hingga sampai di salah satu pintu dari beberapa pintu langit dunia yang bernama Bab al-Hafazhah (pintu para penjaga).

Nabi Muhammad dan Jibril kemudian memasuki pintu langit pertama. Begitu langkah kaki Rasulullah melewati pintu, terlihat seorang laki-laki berkulit kemerah-merahan, berwajah tampan, berbadan gagah. Di samping kanan lelaki itu terdapat sekawanan ruh manusia dan sebuah pintu yang menebarkan semerbak aroma wangi. Sementara, di samping kirinya ada kawanan ruh manusia dan sebuah pintu yang menawarkan bau nyinyir.

Di tengah-tengah pemandangan yang membingungkan ini Rasulullah menyapa laki-laki itu dan mengucapkan salam. Ia pun
membalas salam dan menyambut dengan santun kedatangan Rasulullah.

"Siapa orang ini, Jibril," tanya Rasulullah.

"Dia adalah Bapakmu, Adam. Para ruh manusia itu adalah anak cucunya," jawab Jibril menjelaskan peristiwa yang membingungkan ini.

Memasuki pintu langit kedua, Rasulullah melihat dua pemuda sedang duduk santai di atas balai-balai yang terbuat dari permata yaqut. Mereka adalah Nabi Isa bin Maryam dan Nabi Yahya bin Zakaria. Kedua Nabi itu terlihat dikelilingi kelompok orang dari umatnya. Rasulullah menyapa keduanya dengan mengucapkan salam. Dengan santun, mereka berdua membalas salam dan menyambut kedatangan Nabi Muhammad dengan berkata, "Marhaban, selamat datang saudara yang saleh dan Nabi yang saleh". Lalu, kedua Nabi itu malafalkan doa kebaikan untuk Nabi Muhammad.

Nabi lantas melanjutkan perjalanannya menuju langit ketiga. Di sana ia melihat seorang yang amat indah parasnya. Di belakang orang tersebut, menyusul sekelompok orang yang tak lain adalah pengikut lelaki tampan tersebut. Keheranan muncul di benak Nabi Muhammad, sehingga bertanya, "Siapa dia wahai Jibril?". Jibril menjawab, "Dia adalah saudaramu, Yusuf".

Memasuki langit keempat, pintu langit terkunci, Jibril mengetuk, malaikat penjaga pintu lantas membuka sembari menyambut kedatangan Nabi Muhammad. Di langit keempat Nabi berjumpa dengan Nabi Idris.

Perjalanan berlanjut menembus langit kelima. Muncullah seorang lelaki berjenggut amat panjang, terurai hampir menyentuh pusar. Laki-laki itu terlihat dikerumuni kawanan manusia dari kalangan Bani Israil. Dengan suara yang jelas dan bahasa yang lugas, Nabi Muhammad sempat mendengar ia tengah berkisah tentang sejarah umat Nabi terdahulu.

Ia juga terlihat memberi untaian nasehat kepada para pengikutnya. "Siapa orang ini, Jibril?" tanya Nabi. Jibril menjawab, "Ia adalah Nabi yang amat dicintai umatnya, Harun bin Imran".

Di langit keenam, peristiwa yang sama terjadi kembali. Nabi Muhammad tertegun melihat seorang yang dikelilingi umat yang amat banyak jumlahnya. "Siapa dia wahai Jibril?". Jibril menjawab, "Beliau adalah Musa bin Imran". Sekejap berlalu, mereka berdua telah meninggalkan Nabi Musa dan tiba di depan pintu langit ketujuh.

Saat Nabi Muhammad sampai di langit ketujuh. Nabi Muhammad SAW melihat Baitul Makmur, sebuah bangunan megah bagai istana. Tidak jauh dari bangunan itu ada pintu-pintu yang sepertinya menuju surga.

Ketika tengah menikmati suguhan pemandangan yang ditawarkan langit ketujuh tersebut, Nabi Muhammad dikejutkan dengan hadirnya seorang laki-laki yang memancarkan aura penuh wibawa, berada di dekat salah satu pintu menuju surga. Laki-laki itu terlihat sedang duduk di atas sebuah kursi emas dan menyandarkan punggungnya ke sisi Baitul Makmur.

"Siapa laki-laki ini, Jibril?". "Dia adalah Bapakmu" jelas Jibril. "Ibrahim 'alaihi as-salam. Dia bersama sekelompok umatnya," lanjut Jibril menjelaskan.

Seperti pertemuan dengan Nabi-nabi sebelumnya, ucapan salam kemudian saling terlantunkan di antara keduanya. Tetapi, setelah melafalkan beberapa doa kebaikan untuk Rasulullah, Nabi Ibrahim menitipkan sebuah pesan untuk disampaikan kepada umat Muhammad.

"Perintahlah umatmu memperbanyak tanaman surga. Sungguh tanah dan debunya makmur, subur, dan lapang," pesan Nabi Ibrahim.

Negosiasi dengan Allah

Perjalanan pun berlanjut. Jibril mengantar Nabi Muhammad sampai ke puncak Sidratul Muntaha, tingkatan di mana Jibril tak dapat melampauinya.

Sekembalinya Nabi dari tingkatan itu, Jibril yang sedari tadi menunggu langsung menyambut dengan menggenggam tangan beliau dan menariknya dengan penuh kelembutan. Secepat kilat, Rasulullah dan Jibril turun ke langit ketujuh dan bertemu Nabi Ibrahim kembali.

Ucapan salam saling terlantun antara kedua Nabi itu. Jibril lantas turun membawa Rasulullah ke langit keenam. Berbeda dengan Nabi Ibrahim, di sini Nabi Musa menyambut kedatangan Rasulullah dengan menanyai apa saja yang terjadi di dalam pertemuan rahasia dengan Tuhan itu.

"Apa yang Tuhan wajibkan kepadamu serta umatmu?," tanya Nabi Musa.
"Dia mewajibkan kepadaku serta umatku salat lima puluh kali dalam sehari semalam," jawab Nabi Muhammad.
"Kembalilah kepada Tuhanmu. Mintalah keringanan untukmu dan umatmu. Sebab, umatmu itu lemah, tak akan mampu melaksanakan kewajiban salat sebanyak itu. Sungguh aku telah menguji umatku, kaum Bani Israel, dan menangani mereka dengan penanganan yang lebih rendah dari yang diwajibkan kepada umatmu ini. Tetapi, kaum Bani Israel kenyataannya lemah dan meninggalkan kewajiban itu. Sedangkan umatmu justru lebih lemah dibanding Bani Israel, lebih lemah dalam semua segi; lebih lemah fisiknya, jasadnya, dan badannya; lebih rapuh jiwa dan hatinya, lebih lemah pendengaran dan penglihatannya," saran Nabi Musa memberi pertimbangan.

Mendapat saran dan kritik ini, Rasulullah menoleh ke Jibril, meminta pendapat. "Iya, itu benar. Jika engkau menghendaki, maka kembalilah ke Tuhan," kata Jibril, memberi pendapat.

Nabi Muhammad menerima saran itu, dan secepat kilat kembali menghadap Allah. Usai tiba di bawah singgasana-Nya (al-'Arsy), Nabi bersimpuh dan bersujud, lalu menengadah sembari bermunajat dengan penuh kerendahan, memohon keringanan.

"Ya Rabbi, sesungguhnya umatku itu lemah, tak kuasa menunaikan salat lima puluh kali dalam sehari semalam. Maka, ringankanlah beban umatku, Ya Rabbi."

"Aku ringankan beban kepada mereka dengan dengan mengurangi lima salat," sabda Allah mengabulkan permohonan Nabi Muhammad dari kewajiban salat 50 kali menjadi 45 kali.

Namun, saat kembali menemui Nabi Musa pertimbangan jika jumlah tersebut masih berat membuat Nabi Muhammad berkali-kali melakukan negosiasi dengan Allah tentang jumlah waktu salat.

Ketika bersimpuh menghadap Allah yang kesembilan kalinya jumlah salat yang diwajibkan berkurang menjadi 5 kali dalam sehari semalam. Allah kemudian berfirman kepada Nabi Muhammad:

"Muhammad, sesungguhnya salat itu lima kali dalam sehari semalam. Setiap satu kali shalat dilipatgandakan sepuluh, sehingga ia berarti lima puluh kali salat. Keputusan-Ku tak dapat diubah dan ketetapan-Ku tak dapat disalin. Maka, barangsiapa mendirikan kewajiban salat lima waktu, ia akan masuk surga. Dan, barangsiapa ceroboh tidak mendirikannya, jika Aku menghendaki pengampunan maka Aku ampuni dia, dan jika Aku menghendaki azab maka Aku mengazabnya."

"Dan barang siapa bermaksud mengerjakan kebaikan, namun ia tidak mengerjakannya maka baginya ditulis pahala mengerjakan kebaikan, dan jika ia mengerjakannya maka baginya ditulis pahala mengerjakan sepuluh kebaikan. Dan barang siapa bermaksud mengerjakan kejelekan, namun ia tidak mengerjakannya maka baginya tidak ditulis apa-apa, dan jika ia mengerjakannya maka baginya hanya ditulis dosa mengerjakan satu kejelekan."

Setelah menyimak firman Allah yang penuh dengan makna kasih sayang bagi umat Muhammad ini, dengan puas Nabi undur diri dan kembali menemui Musa. Beliau melaporkan bahwa Allah telah menetapkan kewajiban salat lima waktu dalam sehari semalam.

Tetapi, saran dan kritik Nabi Musa tetap saja kukuh bagai karang. "Kembalilah kepada Tuhanmu. Mintalah keringanan untukmu dan umatmu. Sebab, umatmu itu lemah, tak akan mampu melaksanakan kewajiban salat sebanyak itu," saran Nabi Musa tak goyah sama sekali.

"Telah berulangkali aku kembali menghadap Tuhan, sampai aku merasa malu kepada-Nya. Aku sudah rela dan pasrah terhadap keputusan- Nya," timpal Rasulullah berusaha melenturkan kekukuhan saran Nabi Musa.

Di tengah-tengah suasana musyawarah di antara kedua nabi itu, tiba-tiba terdengar suara dengan penuh getaran wibawa menyahut entah dari mana bersumber, "Kewajiban telah Aku tetapkan, dan Aku pun telah memberikan keringanan bagi hamba-hamba-Ku."

Terang saja, pesan suara ini membuat Nabi Musa akhirnya menyetujui dan merestuinya. Maka, Nabi Musa pun dengan penuh penghormatan mengucapkan kalimat perpisahan kepada Nabi Muhammad, "Jika demikian, turunlah ke bumi dengan menyebut nama Allah, wahai Nabi Muhammad. Dan, selamat jalan..." (Ad-Dardir,n.d.,24-25).

 

***

 

Editor: Abdul Rosyid

Tags

Terkini

Terpopuler