Hal serupa juga dijelaskan dalam kitab Al-Majmu':
"Dalil kami untuk menanggapi argumentasi semua pendapat di atas adalah seperti yang dikemukakan Ibnu al-Mundzir bahwa berhubungan badan hukumnya boleh karena itu kita tidak bisa melarang dan memakruhkannya tanpa dalil. (Al-Majmu' Juz. 2, hal. 241).
Hanya saja, ada waktu dan kondisi tertentu dilarangnya seorang suami menggauli istrinya, yaitu ketika sedang haid atau nifas (Al-Baqarah: 222), dalam keadaan berpuasa (Al-Baqarah: 187), atau sedang Ihram haji dan umrah (Al-Baqarah: 197).
Di luar keadaan tersebut, berdasarkan ilmu fikih, maka tidak akan menjadi masalah bagi pasangan suami-istri untuk berhubungan badan, sekalipun itu di malam 1 Suro atau malam tahun baru Islam.
Hanya saja, Ustaz Hikmatul Luthfi menjelaskan, perspektif tasawuf sedikit berbeda memandangnya.
Dari pandangan ini, terdapat sejumlah riwayat yang tidak menganjurkan untuk berhubungan suami-istri ketika malam hari raya, malam awal, tengah dan akhir bulan.
Diterangkan dalam kitab Ihya' yang bunyinya,
"Makruh bagi seseorang berhubungan badan di tiga malam tiap bulannya, yaitu awal bulan, pertengahan bulan, dan akhir bulan, dikatakan bahwa setan hadir jimak pada malam-malam ini dan dikatakan bahwa setan-setan itu berjimak di malam-malam tersebut." (Ittihaf Sadat al-Muttaqin Syarh Ihya 'Ulumiddin, Juz. 6 h. 175).