Ini Penjelasan Hukum Shalat Kafarat di Jumat Akhir Ramadhan Menurut NU

- 30 Maret 2024, 17:15 WIB
Ilustrasi sholat
Ilustrasi sholat /

"Yang lebih buruk dari itu adalah tradisi di sebagian daerah berupa shalat 5 waktu di Jumat ini (Jumat akhir Ramadhan) selepas menjalankan shalat Jumat, mereka meyakini shalat tersebut dapat melebur dosa shalat-shalat yang ditinggalkan selama setahun atau bahkan semasa hidup, yang demikian ini adalah haram atau bahkan kufur karena beberapa sisi pandang yang tidak samar," demikian pandangan Ibnu Hajar Al-Haitami.

Pandangan itu direspons oleh Syekh Abdul Hamid al-Syarwani dalam Hasyiyah al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah dengan menyebut bahwa shalat kafarat menyalahi seluruh mazhab.

  1. Hadits tentang shalat kafarat tidak dapat dibuat dalil, karena tidak memiliki sanad yang jelas.

Baca Juga: Mengenal Tradisi Mudik Lebaran: Sejarah dan Asal Usulnya

Pandangan yang membolehkan shalat kafarat di Jumat akhir Ramadhan: 

  1. Bertendensi pada pendapat Al-Qadli Husain yang mengqadha shalat fardhu yang diragukan ditinggalkan. Pendapat itu ditulis oleh Syekh Sulaiman al-Jamal dalam Hasyiyah al-Jamal.

"Al-Qadli Husain berkata, bila seseorang mengqadha shalat fardhu yang ditinggalkan secara ragu, maka yang diharapkan dari Allah shalat tersebut dapat mengganti kecacatan dalam shalat fardhu atau paling tidak dianggap sebagai shalat sunah. Saya mendengar bahwa sebagian ashab-nya Bani Ashim berkata, bahwa ia mengqadha seluruh shalat seumur hidupnya satu kali dan memulai mengqadhanya untuk kedua kalinya. Al-Ghuzzi mengatakan, ini adalah faedah yang agung, yang jarang sekali dikutip oleh ulama.” 

Sementara itu, Syekh Fadl bin Abdurrahman al-Tarimi al-Hadlrami dalam kitab Kasyf al-Khafa’ wa al-Khilaf fi Hukmi Shalat al-Bara’ah min al-Ikhtilaf mengatakan bahwa keraguan dalam ibadah badan atau harta, boleh menggantungkan niat qadhanya, bila betul ada tanggungan maka statusnya wajib, bila tidak, maka berstatus sunah.

  1. Para ulama berpandangan dengan pertimbangan bahwa tidak ada orang yang meyakini keabsahan shalat yang baru saja ia kerjakan, terlebih shalat yang dulu-dulu.
  2. Larangan shalat kafarat dikarenakan ada kekhawatiran shalat tersebut cukup untuk mengganti shalat yang ditinggalkan selama setahun, tetapi para ulama berpandangan saat kekhawatiran itu hilang maka hukum haram hilang.
  3. Mengikuti amaliyah para pembesar ulama dan para wali Allah yang ahli makrifat billah, di antaranya Sayyidi Syekh Fakr al-Wujud Abu Bakr bin Salim, Habib Ahmad bin Hasan al-Athas, al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi dan banyak lainnya. 

Shalat kafarat pada Jumat akhir Ramadhan rutin dilakukan dan diimbau oleh para pembesar ulama di Yaman. Bahkan di masjid Zabid Yaman, shalat kafarat ini rutin dilakukan secara berjamaah.

Dengan demikian, mengikuti amaliyah para wali dan ulama ahli makrifat tanpa diketahui dalil istinbathnya dari hadits Nabi, sudah cukup untuk menjadi argumentasi membolehkan shalat kafarat ini. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani dalam kitab Tanbih al-Mughtarrin yang dikutip di dalam Kasyf al-Khafa’.

"Di antara kaum, apabila mereka tidak memiliki dalil dari sunah Nabi yang ditetapkan dalam kitab syariat, mereka menghadap hatinya kepada Rasul, bila sudah berhadapan dengan Nabi, mereka bertanya kepada beliau dan mengamalkan apa yang dikatakan Nabi, akan tetapi yang demikian ini khusus untuk para pembesar sufi," demikian penjelasan Syekh Abdul Wahhab al-Sya’rani.

Dari berbagai penjelasan di atas, baik yang membolehkan maupun yang mengharamkan, Ustadz Mubasysyarum Bih menggarisbawahi bahwa shalat kafarat yang diyakini sebagai pengganti shalat fardhu yang ditinggalkan selama satu tahun, sama sekali tidak dibenarkan. 

Sebab kewajiban bagi orang yang meninggalkan shalat, baik sengaja atau lupa, adalah mengqadhanya satu per satu, ulama tidak ikhtilaf dalam hal ini. Sementara shalat kafarat dimaksudkan sebagai langkah antisipasi saja.***

Halaman:

Editor: Abdul Rosyid


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah